Aku ingin seperti mereka
Bagaimana rasanya? Entah berapa banyak pertanyaan itu terlontar padaku,bahkan mungkin terlalu banyak hingga pertanyaan itu seakan bukan rasa simpatik, namun hanya rasa penasaran. yaa mungkin mereka hanya bertanya,namun sadarkah mereka bahwa dengan keadaan yang sama seseorang pasti memiliki pemikiran yang berbeda. Saat orang lain benar benar mengenalku maka dari sanalah ia selalu mempertanyakan hal itu,namun sampai kapan? Sampai aku tak bisa menjawab pertanyaan mereka lagi! Karna nafasku terhenti dari bumi? Begitu… Allahu Rabbi maafkan keluhku tapi pertanyaan itu seakan menghukumku. Menghukum? Sadarlah Nur… Allah Maha Adil dia takan memberikan ujian diluar batas kemampuan hambaNya.
Kubaringkan tubuh yang letih ini,setelah seharian aku berdiri membuat adonan roti hingga mengembang. Kupejamkan mata sayu menikmati setiap hembusan nafas yang memburu tak tentu fikirku saat ini hanya satu, Semoga setiap orang yang mengenalku takan pernah menanyakan hal itu. diatas Kasur kapuk yang beralaskan sprei kuning tua bermotif bunga mawar atau melatikah itu?, ahh aku tak tau…kuraba sprei usang ini siapapun pasti tau berapa lama sprei ini setia menemani kasurku,begitu kasar dan berbulu terlintas dalam khayalku mungkin sprei ini sangat indah terlihatnya jika aku terlahir jauh sebelum kakak laki lakiku yang saat ini berusia 20 tahun. Sayful namanya,mungkin dia bisa menjawab tatkala ada seseorang yang bertanya ”Bagaimana rasanya?
Ingin aku berkata setelah pertanyaan itu kuterima,”Bisakah kalian bayangkan selama 16 tahun ini berapa banyak orang yang bertanya begitu padaku? Seperti kejadian kemarin sore saat aku memutuskan untuk berjalan kaki menempuh perjalanan pulang dari sekolah ke rumah. jauh memang,namun begitulah TakdirNya perjalanan itu mempertemukanku dengan Erlina dan kawan kawannya entah apa kepentingannya hingga pembicaraan kami bermula dengan apa yang tak kuduga,kuduga? Maksudku pasti setiap orang bertanya kabar atau apalah itu,tapi tanyanya begitu jelas dan mendesak tanpa basa basi seperti kebanyakan orang pada umumnya.
“ kami baru mendengar,katanya Ayahmu sudah tiada memangnya kapan kepergiannya?”
“15 tahun silam”
“Apa yang menimpanya?”
“Sakit parah yang lambat terobati”
“Bagaimana dengan keluargamu?”
“Mereka bersedih mengikhlaskan kepergiannya”
“lalu…bagaimana denganmu,Bagaimana perasaanmu…?”
Seketika aku terdiam membisu,”Bagaimana denganmu?” tanyanya lagi memburu jawabku. Ingin aku pergi dari percakapan ini dan membiarkan sipetanya berhenti karna sikapku. Sungguh…bukan karna aku tak mau tapi…karna aku tak tau. jawaban apa yang bisa kuberikan atau bagaimana caranya membuat dia mengerti bahwa aku tak ingin menjawab tanpa kuutarakan fikiran ini
Hening… seakan sore itu tak pernah ada pembicaraan Antara sekumpulan gadis remaja 1 SMA, secepat mungkin aku berlari meninggalkan mereka semua sembari sesekali aku menoleh ke belakang memastikan mereka tak mengejar,kulihat mereka hanya terdiam di tepi jalan.
Mungkin mereka masih tak mengerti,salahkah aku pergi begitu saja…? “Tidak…! Aku hanya sedang berfikir” lagi dan lagi Bagaiman bagaimana dan bagaimana….? “Maafkan aku…” lirihku, saat kusadari langkah ini semakin jauh. “aku tak bersalah…” kuulangi dan kuulangi kata kata itu dalam hati.
Sesampainya dirumah aku langsung berlari menuju kamar, kemudian menutup pintu rapat rapat, dengan nafas terengah engah aku mencoba menguatkan hati. Sembari terduduk menangis aku berfikir Sudahlah Nur… hentikan ketakutanmu itu dan ceritakan saja apa yang kau rasakan saat ini,nuraniku berbaik hati,namun jiwaku goyah “tak bisa…aku tak ingin terlihat lemah dihadapan mereka,aku baik-baik saja tanpanya”.
Mentari pagi bersinar cerah,cahaya kemuningnya menembus celah celah dinding yang terbuat dari kayu membangunkan pengharapan baru bagi setiap insan yang menunggu.baru kurasakan dinginnya lantai hitam itu “Astaghfirulllah mungkin semalaman aku berbaring dilantai tak beralas tikar” sekuat tenaga aku bangun meski langkahku lemah tak mengapa,mulai saat ini aku akan berdamai dengan segalanya hidupku,diriku,dan perasaanku. Lagi dan lagi perasaanku “sudahlah…” lirihku perlahan
Bergegas aku bersiap,kulihat jam dinding menuju pukul 07:00.sesampainya di sekolah langkahku terasa berat detik detik membuka pintu kelas dan… benar saja semua mata tertuju padaku mereka saling berbisik, sepertinya si Ratu Kecantikan itu menceritakan apa yang terjadi sore kemarin. Kusimpan tas diatas meja lalu berdiri didepan semua teman yang sedari tadi memperhatikan,”Baiklah…. Tak apa….” Kegemingan yang terjadi diantara kami pecah saat Guru Bahasa Indonesia masuk dan berkata “kumpulkan PR kalian dan yang pertama maju kedepan akan mendapat nilai tambahan. Saat itu juga aku bangkit dari kursi tergopoh meraih selembar kertas lalu kubacakan tulisannya
“Aku ingin seperti mereka! dan kalian adalah salah satu dari mereka…” kataku tegas dan lantang,sontak saja judul yang kubacakan membuat seluruh siswa terdiam mendengarkan
Aku ingin seperti mereka (kuulangi kembali)
Yaa Rabbi bolehkah hatiku iri…?
Aku ingin merasakan hangatnya pelukan seorang Ayah
Aku ingin merasakan nyamannya penjagaan dari seorang Ayah
Aku ingin merasakan belaian tangan seorang Ayah
Aku ingin bercanda ria dengan Ayah
Aku ingin melihat bagaimana wajah Ayah
Aku ingin Ayah…
Aku rindu padanya…
Tuhan… aku tak sempat merasakan memiliki seorang Ayah…
Mengapa tak kau berikan aku kesempatan…
Tak apa jika dia tak sempurna…
Tak apa jika aku harus menderita dengannya… Tak apa asalkan bersamanya…
Sembari menangis aku berkata “Aku tak bisa menjelaskan bagaimana rasanya saat Ayah meninggal apakah aku menyesal ataukah bersedih,tapi yang kutau hidup kami sangatlah sulit dan berat,beban hidup ini kami tanggung bersama. Aku baru merasakan kehilangan ketika aku sadar mengapa aku berbeda dari yang lainnya,kehidupan yang sulit mendewasakan fikiranku dan beban hidup ini membuatku menjadi gadis remaja yang tak manja.aku mandiri dan kasih sayang ibu selalu menemaniku,tapi pertanyaan itu selalu membuat diriku sendiri bertanya Tanya “alangkah bahagianya jika aku dapat merasakan kasih sayang seorang Ayah”.
Bandung, 20 Agustus 2016
Nunik Nuraeni
Sekilas tentang penulis
created by R.M.I
Nunik Nuraeni gadis manis asal Bandung dari 6 bersaudara ini menjadi yatim saat berumur 3 tahun, entah bagaimana rasa nya ketika pertanyaan sulit itu datang dalam kesehariannya, yang tak pernah mengenal lebih dekat sosok seorang ayah, dan pada akhirnya nunik bergabung 3 tahun silam bersama panti yatim indonesia untuk tetap melanjutkan cita-citanya untuk mengurangi beban ibunya ia terus berjuang menjadi anak asuh yang cerdas dan membanggakan, semoga apa yang selama ini ia perjuangkan menjadi awal kesuksesan nya di masa depan.
berbahagialah yang hidupnya sempurna dengan kasih sayang kedua orangtuanya, dan bersyukurlah atas nikmat yang telah Allah berikan terhadap kesempatan kebahagiaan hidupnya.
0 Comments